Powered by Blogger.
TULISAN TERPOPULER
-
Definisi Sembahyang Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha d...
-
( Om Nama Shivaya / Om Nama Sivaya / Om Nama Siwaya) merupakan mantra panca aksara yang secara khusus ditunjukan kepada Shiva / Siva / Siw...
-
Hai guys, udah tau belum kalau dalam agama Hindu ada 4 cara untuk menuju Tuhan (MOKSA) yang tidak ada di agama lain. Agama Hindu percaya aka...
-
Peradah DPP Jawa Tengah: Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita (Bahasa I...
-
Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna, terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya disebut Sukla ...
-
1. ! Aplikasi mPeradah (tanya-jawab dan Doa Sehari-hari di HP & by sudane Download Now 2. ! eBook t...
-
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kal...
-
Hindu mengajarkan bahwa di keseluruhan alam semesta ini berlaku dua hukum semesta, yaitu Hukum Karma [hukum yang mengatur mahluk, jalan hi...
-
Om Swastyastu http://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-marga.htm Hindu mengenal 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Wi...
-
Tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula. Tempat suci adal...
Sejarah dan Makna Hari Raya Galungan
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang
atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga
berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku
Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku
Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di
Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut
Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan
bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan
dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain
khususnya di Bali.
Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen
Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan
telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu
populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar
berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi,
kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya
juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali,
ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha
Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu
disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan
(upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu
Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan
Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus
dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini
dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar
pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu
dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk
pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan
dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon
musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi
relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja
Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali,
setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini
bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut
diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan
pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di
Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri
pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari
Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri
Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi
Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan
kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi
merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri
Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu
disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari
Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula,
inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala
yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta
Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat
dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Makna Filosofis Galungan
Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar
mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana
dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri
manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan
kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa
sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah
hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan
keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu
untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu
memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam
lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan
mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan
sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu
Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya
mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan
pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar
mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Bersatunya rohani dan
pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala
kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari
konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat
Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.
Untuk
memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum
dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar.
Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari
manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku
Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama
disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa
kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari
penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan
membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat
suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan
jasmani masing- masing).
Karena itu Sugihan Bali disebutkan
menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti
kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada
Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun
mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung
jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha
Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang
pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada
hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini
orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam
lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”
Pada
hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada
hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan
dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut
“pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih
babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari
ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.
Demikian
urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan
yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari
ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya
melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan
terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil
bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon
Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan
dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa
“kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat
dianjurkanmenghaturkan canang meraka
dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
CHAT WITH US HERE !
About Me
- Peradah Indonesia Kota Semarang
- Om swastiastu, Kami Perhimpunan Pemuda HIndu Indonesia(DPK Semarang) sekretariat : Pura Agung Giri Natha, Jl. Sumbing no.12 Semarang
wibiya widget
Tags
17an
2009
Agama
Alam
Amerta Sari
Artikel
Astrologi Bali
bhagawad gita
Bhakti
Budaya
Candi
Dharma
Dharma Santi
Dosa
Download
Ekonomi
Foto
Giri Natha
Hindu
Jadwal
Kalender Bali
Karma
Kebenaran
Kegiatan
Kejahatan
Kemah
Kembali Ke Hindu
KMHS
Krisis
Kunjungan
Lobha
Lokha Sabha
Makrab
Mantra
Marga
Meditasi
Mijen
Mind
Moha
Nyepi
Odalan
Organisasi
Pancawara
Pasraman
Penyakit
Peradah
Pertanyaan
Pura
Ramalan
Rohani
Sains
Santi
Saptawara
Saraswati
Seke Gong Puspa Giri
Senam
Seni
Siwa
software
Spiritual
SSC Band
Tahun Baru
Tari
Tirta Yatra
Tlogosari
Tuhan
Veda
Vedic
Wallpaper
Website Hindu
WHDI
Wuku
Yoga