Powered by Blogger.
TULISAN TERPOPULER
-
Definisi Sembahyang Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha d...
-
( Om Nama Shivaya / Om Nama Sivaya / Om Nama Siwaya) merupakan mantra panca aksara yang secara khusus ditunjukan kepada Shiva / Siva / Siw...
-
Hai guys, udah tau belum kalau dalam agama Hindu ada 4 cara untuk menuju Tuhan (MOKSA) yang tidak ada di agama lain. Agama Hindu percaya aka...
-
Peradah DPP Jawa Tengah: Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita (Bahasa I...
-
Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna, terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya disebut Sukla ...
-
1. ! Aplikasi mPeradah (tanya-jawab dan Doa Sehari-hari di HP & by sudane Download Now 2. ! eBook t...
-
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kal...
-
Hindu mengajarkan bahwa di keseluruhan alam semesta ini berlaku dua hukum semesta, yaitu Hukum Karma [hukum yang mengatur mahluk, jalan hi...
-
Om Swastyastu http://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-marga.htm Hindu mengenal 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Wi...
-
Tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula. Tempat suci adal...
Bhakti Yoga (by Gede Prama)
Bagi sahabat yang melihat hanya dengan mata biasa, pertanda alam berupa semakin sedikitnya pohon kamboja yang bisa berbunga di Bali, ia sesederhana persoalan hama tanaman. Namun bagi sahabat yang melihat dengan mata kepekaan, alam sesungguhnya sebuah cermin jujur. Di depan cermin jujur, hanya kejujuran yang membantu.
Langkanya bunga kamboja memang menimbulkan kesulitan kekurangan sarana persembahyangan, namun lebih dari itu, ada jejaring keindahan di alam yang kehilangan salah satu unsurnya. Akibatnya, ia bisa membawa dampak pada keindahan secara keseluruhan. Meminjam pendapat fisikawan Fritjof Capra dalam The Hidden Connections, matinya kupu-kupu di Singapura memberi pengaruh pada cuaca di Australia. Bila ini benar, bukan tidak mungkin langkanya bunga Kamboja akan mempengaruhi keindahan alam Bali. Padahal, pariwisata Bali bertumpu pada keindahan alam.
Merenung di atas bahan-bahan ini, mungkin layak menggunakan langkanya bunga kamboja sebagai alarm peringatan dini. Dan tetua mengajarkan, kapan saja alarm spiritual berbunyi, cepatlah mebakti (sembahyang). Serupa dengan mengelola tanaman, di waktu biasa cukup dihadapi dengan pupuk alam dan air hujan. Namun di saat tantangan jauh lebih berat, pupuk dan air hujan saja tidak cukup.
Bakti juga serupa. Pada putaran waktu ketika ketegangan kosmik terjadi di mana-mana - dari hiv/aids, rabies, pemerkosaan gadis kecil - mungkin layak merenungkan kualitas bakti selama ini. Dalam kerangka sederhana, bakti bisa dibagi tiga: luar (outer offering), dalam (inner offering), rahasia (innermost secret offering).
Selama ribuan tahun, Bali memang dipenuhi oleh persembahan luar. Manusia mempersembahkan unsur-unsur alam semesta. Dari janur yang diukir, buah yang ditata rapi sampai dengan mengorbankan binatang. Namun, ada waktu-waktu di mana diperlukan bentuk persembahan yang lebih dalam. Pelayanan, pengorbanan, kasih sayang, penghormatan pada sesama, itulah contoh-contoh persembahan dalam. Tetua Bali menyebutnya Urip nguripi (hidup yang menghidupi).
Di tahap persembahan rahasia, manusia kemudian menggali ke dalam dirinya sedalam-dalamnya. Serupa tulisan novelis cemerlang Paulo Coelho dalam The Alchemist, setelah mencari ke mana-mana dan tidak ketemu, ternyata yang dicari ada di dalam. Begitu ketemu, mulut menjadi terkunci rapat. Tetua Bali menyebutnya Nyepi lan Ngewindu (keheningan yang maha utama).
Kesan umum ketika orang Bali harus sembahyang adalah ngayah. Kerja bakti, gotong royong, menyumbang, membuat persembahan untuk upacara tertentu tentu saja baik. Namun, zaman sudah banyak berubah. Tantangan sudah jauh lebih berat. Dulu, tidak terdengar ada orang Bali dipenjara. Sekarang, lebih dari separuh penghuni lembaga pemasyarakatan Bali adalah warga Bali. Dulu, Pura sangat suci dan sangat sakral. Sekarang, bahkan benda suci yang amat disakralkan pun (Pratima) dicuri warga Bali. Dulu, tidak terdengar cerita-cerita mengerikan tentang aids, rabies serta gadis kecil diperkosa. Sekarang, itu menu berita sehari-hari.
Sehingga dalam totalitas, tantangan zaman menuntut kualitas bakti yang jauh lebih dalam lagi. Tidak lagi memadai hanya mempersembahkan hal-hal luar. Inilah saatnya manusia untuk mempersembahkan hidupnya. Memperbaiki merajan, melakukan upacara di pura leluhur itu baik. Cuman jangan lupa, anak-anak kita, cucu-cucu kita, sesungguhnya leluhur yang terlahir. Sehingga layak direnungkan mengungkapkan bakti dengan cara menyayangi, menyekolahkan, membimbing mereka menjadi manusia-manusia utama. Untuk itu, mengalokasikan sebagian dana dan tenaga untuk memfasilitasi pertumbuhan mereka, tidak kalah pentingnya dengan merenovasi, bekerja bakti di Pura leluhur. Bermodalkan kasih sayang pada anak cucu, kemudian perluas pancaran kasih sayang ke tetangga, atasan, pemerintah, sahabat yang beragama lain.
Perhatikan tanda-tanda manusia yang bertumbuh dewasa. Ketika remaja, manusia berbahagia dengan cara membeli sesuatu untuk diri sendiri. Begitu tua terbalik, kita justru berbahagia dengan memberi sesuatu untuk orang lain. Inilah contoh konkrit perjalanan bakti yang semakin ke dalam.
Sekaligus menjadi bahan, bagaimana proses upacara sebaiknya dilakukan. Bila boleh jujur, terlalu sering terlihat di Bali, upacara dilakukan dengan “menyakiti” orang lain. Jalan ditutup kemudian lalu lintas dibuang ke jalan sempit, rusak, jauh sekaligus berbahaya. Tidak terbayang jumlah manusia yang mengeluh, marah dan protes.
Ini mengingatkan pada cerita Shri Krishna menemani Panca Pandawa sembahyang ke Pura. Dalam ukuran Shri Krishna, persembahan hari itu seharusnya bercahaya. Namun nyatanya tidak. Ketika Drupadi ditoleh, ternyata ia tersenyum jahil ke arah pemimpin upacaranya. Bayangkan, hanya tersenyum jahil saja cahaya persembahannya lenyap, tidak kebayang ke mana larinya cahaya persembahan bila upacaranya menyakiti banyak orang.
Sekali lagi, inilah putaran waktu di mana persembahan sebaiknya dilakukan dengan proses yang tidak menyakiti, sekaligus berhenti hanya mempersembahkan hal-hal luar, mulai mempersembahkan hidup untuk pertumbuhan sesama. Tetua Bali menyebutnya Urip nguripi (hidup yang menghidupi).
Persembahan rahasia
Bermodalkan perjalanan persembahan berupa hidup itu sendiri, kehidupan kemudian secara pelan perlahan bertumbuh menuju wilayah persembahan rahasia. Tidak semua wilayah rahasia ini boleh diceritakan. Di Tantra (salah satu arti Tantra adalah rahasia) ada aturan, sepertiga pertama boleh diceritakan ke publik. Sepertiga kedua boleh diceritakan ke murid-murid yang sujud, bakti, menangis mencium kaki ini. Sepertiga terakhir hanya menjadi rahasia murid dan guru di alam rahasia.
Dibatasi aturan ini, maafkan tulisan ini hanya bercerita sebagian saja dari sepertiga yang pertama. Di jalan rahasia, semua gerak kehidupan (bekerja, berdoa bahkan mimpi) menjadi serangkaian persembahan. Terutama bila semuanya dilakukan untuk memberi manfaat pihak lain. Puncak perjalanan di jalan rahasia, bahkan kematian pun menjadi persembahan. Di waktu kematian, semua hal dipersembahkan. Dari kebaikan-keburukan, uang-utang sampai kesucian-kekotoran. Badan ini sekali pun, di waktu kematian dipersembahkan. Unsur tanah menyatu dengan tanah kemudian ikut menghidupi mahluk dengan menghasilkan padi, sayuran, buah-buahan. Unsur air menyatu dengan air sehingga mahluk bisa minum, unsur api membantu para mahluk memasak, unsur udara membuat semua bisa bernafas. Bagi pemuja Shiva, semua (termasuk kematian) hanyalah tarian Shiva. Untuk murid di jalan Buddha, semua Tathata (sempurna apa adanya).
Di wilayah rahasia, satu-satunya kekayaan spiritual yang tersisa hanyalah keheningan (nyepi lan ngewindu). Akan tetapi, keheningan yang tidak dipeluk kasih sayang tidak pernah diajarkan sebagai jalan pencerahan. Makanya ada yang mengibaratkan keheningan dan kasih sayang seperti sepasang sayap burung. Keheningan tanpa kasih sayang ibarat orang yang memanjat pohon tetapi tanpa tangan. Kasih sayang yang tidak dilakukan dalam keheningan (penuh ego dan keakuan), serupa tangan yang memanjat tanpa mata.
Siapa saja yang bisa memadukan secara rapi antara keheningan sempurna (Nyepi lan ngewindu) dengan kasih sayang (Urip nguripi), di waktu kematian akan bernasib seperti anak burung Garuda. Begitu telurnya pecah (karena kehidupan manusia serupa anak ayam yang dikurung cangkang telur ketidaktahuan), langsung terbang ke alam pencerahan.
CHAT WITH US HERE !
About Me
- Peradah Indonesia Kota Semarang
- Om swastiastu, Kami Perhimpunan Pemuda HIndu Indonesia(DPK Semarang) sekretariat : Pura Agung Giri Natha, Jl. Sumbing no.12 Semarang
wibiya widget
Tags
17an
2009
Agama
Alam
Amerta Sari
Artikel
Astrologi Bali
bhagawad gita
Bhakti
Budaya
Candi
Dharma
Dharma Santi
Dosa
Download
Ekonomi
Foto
Giri Natha
Hindu
Jadwal
Kalender Bali
Karma
Kebenaran
Kegiatan
Kejahatan
Kemah
Kembali Ke Hindu
KMHS
Krisis
Kunjungan
Lobha
Lokha Sabha
Makrab
Mantra
Marga
Meditasi
Mijen
Mind
Moha
Nyepi
Odalan
Organisasi
Pancawara
Pasraman
Penyakit
Peradah
Pertanyaan
Pura
Ramalan
Rohani
Sains
Santi
Saptawara
Saraswati
Seke Gong Puspa Giri
Senam
Seni
Siwa
software
Spiritual
SSC Band
Tahun Baru
Tari
Tirta Yatra
Tlogosari
Tuhan
Veda
Vedic
Wallpaper
Website Hindu
WHDI
Wuku
Yoga