Powered by Blogger.
TULISAN TERPOPULER
-
Definisi Sembahyang Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha d...
-
( Om Nama Shivaya / Om Nama Sivaya / Om Nama Siwaya) merupakan mantra panca aksara yang secara khusus ditunjukan kepada Shiva / Siva / Siw...
-
Hai guys, udah tau belum kalau dalam agama Hindu ada 4 cara untuk menuju Tuhan (MOKSA) yang tidak ada di agama lain. Agama Hindu percaya aka...
-
Peradah DPP Jawa Tengah: Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita - Lengkap ( Bahasa Indonesia ) Bhagawad Gita (Bahasa I...
-
Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna, terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam. Pimpinannya disebut Sukla ...
-
1. ! Aplikasi mPeradah (tanya-jawab dan Doa Sehari-hari di HP & by sudane Download Now 2. ! eBook t...
-
Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kal...
-
Hindu mengajarkan bahwa di keseluruhan alam semesta ini berlaku dua hukum semesta, yaitu Hukum Karma [hukum yang mengatur mahluk, jalan hi...
-
Om Swastyastu http://www.babadbali.com/canangsari/pa-catur-marga.htm Hindu mengenal 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Wi...
-
Tempat suci adalah tempat yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula. Tempat suci adal...
Makna Filosofis Hari Suci Tilem
Rerahinan Tilem dirayakan ketika bulan mati, maksudnya gelap ( tidak ada sinar bulan di langit ). Kegelapan pada hari Tilem ini, justru bernuansa religius. Ditinjau dari pengetahuan Astronomi Bahwa pada bulan tilem itu posisi bulan berada diantara Matahari dengan Bumi sehingga suasana menjadi gelap gulita dimalam hari.
Hari suci tilem sebenarnya sudah dirayakan oleh nenek moyang kita sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, dari sumber-sumber yang dapat dipercaya Bahwa hari suci tilem erat kaitannya dengan keberadaan Dinasty Chandra. Dynasty Chandra menganggap Bahwa leluhurnya dahulu adalah berasal dari keturunan suci, yang diturunkan ke bumi sebagai Dewa Chandra atau Dewa Bulan. Sakti atau istri dari Dewa Chandra adalah Dewi Soma, Dewa Chandra dan Dewi Soma inilah yang kemudian menurunkan Wangsa Chandra. Dalam kurun waktu yang berabad-abad keturunan Wangsa dari Dinasty Chandra muncul kepercayaan bahwa Bulan Tilem adalah sebagai hari suci Wangsa tersebut. Kepercayaan ini kemudian dipercaya oleh Umat Hindu di Nusantara ini sebagai hari sucinya.
Hari suci tilem sebenarnya sudah dirayakan oleh nenek moyang kita sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, dari sumber-sumber yang dapat dipercaya Bahwa hari suci tilem erat kaitannya dengan keberadaan Dinasty Chandra. Dynasty Chandra menganggap Bahwa leluhurnya dahulu adalah berasal dari keturunan suci, yang diturunkan ke bumi sebagai Dewa Chandra atau Dewa Bulan. Sakti atau istri dari Dewa Chandra adalah Dewi Soma, Dewa Chandra dan Dewi Soma inilah yang kemudian menurunkan Wangsa Chandra. Dalam kurun waktu yang berabad-abad keturunan Wangsa dari Dinasty Chandra muncul kepercayaan bahwa Bulan Tilem adalah sebagai hari suci Wangsa tersebut. Kepercayaan ini kemudian dipercaya oleh Umat Hindu di Nusantara ini sebagai hari sucinya.
Labels:
Agama
Drona
Bhagawan Wraspati mempunyai putra bernama Baradwaja yang pernah memerintah di Negeri Antasangin. Tatkala memasuki masa wanaprastha ia melaksanakan tapa sebagai Brahmana Pandita di tengah hutan, berita ini terdengar oleh sahabatnya, Raja Pancala. Ia begitu terharu, karena ia tahu, sahabatnya masih mempunyai putra yang masih bocah bernama Kanwa dan Kumbayana. Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara.
Labels:
Artikel
Bhakti Yoga (by Gede Prama)
Bagi sahabat yang melihat hanya dengan mata biasa, pertanda alam berupa semakin sedikitnya pohon kamboja yang bisa berbunga di Bali, ia sesederhana persoalan hama tanaman. Namun bagi sahabat yang melihat dengan mata kepekaan, alam sesungguhnya sebuah cermin jujur. Di depan cermin jujur, hanya kejujuran yang membantu.
Langkanya bunga kamboja memang menimbulkan kesulitan kekurangan sarana persembahyangan, namun lebih dari itu, ada jejaring keindahan di alam yang kehilangan salah satu unsurnya. Akibatnya, ia bisa membawa dampak pada keindahan secara keseluruhan. Meminjam pendapat fisikawan Fritjof Capra dalam The Hidden Connections, matinya kupu-kupu di Singapura memberi pengaruh pada cuaca di Australia. Bila ini benar, bukan tidak mungkin langkanya bunga Kamboja akan mempengaruhi keindahan alam Bali. Padahal, pariwisata Bali bertumpu pada keindahan alam.
Umat Hindu pemuja arca, ataukah penyembah berhala?
Konsep pemujaan terhadap murti atau arca Tuhan dan berbagai penjelmaan-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya, dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Cara sembahyang Hindu dituduh sebagai pemujaan berhala. Celakanya, pemujaan terhadap berhala inilah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk "menyelamatkan" orang-orang Hindu.
Berbagai pertanyaan memang mencuat ketika orang melihat cara orang Hindu memuja Tuhan mereka. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? Apakah Tuhan orang Hindu terus-menerus lapar, hingga tiap hari harus disuguhi aneka makanan? Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diselipi Coca Cola atau Sprite serta buah-buahan serba impor. Maka komentar miring seperti "Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?" tak terelakkan. Lalu muncullah berbagai pertanyaan teologis yang acapkali memojokkan.
Berbagai pertanyaan memang mencuat ketika orang melihat cara orang Hindu memuja Tuhan mereka. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? Apakah Tuhan orang Hindu terus-menerus lapar, hingga tiap hari harus disuguhi aneka makanan? Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diselipi Coca Cola atau Sprite serta buah-buahan serba impor. Maka komentar miring seperti "Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?" tak terelakkan. Lalu muncullah berbagai pertanyaan teologis yang acapkali memojokkan.
Labels:
Artikel
Subscribe to:
Posts (Atom)
CHAT WITH US HERE !
About Me
- Peradah Indonesia Kota Semarang
- Om swastiastu, Kami Perhimpunan Pemuda HIndu Indonesia(DPK Semarang) sekretariat : Pura Agung Giri Natha, Jl. Sumbing no.12 Semarang
wibiya widget
Tags
17an
2009
Agama
Alam
Amerta Sari
Artikel
Astrologi Bali
bhagawad gita
Bhakti
Budaya
Candi
Dharma
Dharma Santi
Dosa
Download
Ekonomi
Foto
Giri Natha
Hindu
Jadwal
Kalender Bali
Karma
Kebenaran
Kegiatan
Kejahatan
Kemah
Kembali Ke Hindu
KMHS
Krisis
Kunjungan
Lobha
Lokha Sabha
Makrab
Mantra
Marga
Meditasi
Mijen
Mind
Moha
Nyepi
Odalan
Organisasi
Pancawara
Pasraman
Penyakit
Peradah
Pertanyaan
Pura
Ramalan
Rohani
Sains
Santi
Saptawara
Saraswati
Seke Gong Puspa Giri
Senam
Seni
Siwa
software
Spiritual
SSC Band
Tahun Baru
Tari
Tirta Yatra
Tlogosari
Tuhan
Veda
Vedic
Wallpaper
Website Hindu
WHDI
Wuku
Yoga