Powered by Blogger.

TULISAN TERPOPULER

Bhakti Yoga (by Gede Prama)


Bagi sahabat yang melihat hanya dengan mata biasa, pertanda alam berupa semakin sedikitnya pohon kamboja yang bisa berbunga di Bali, ia sesederhana persoalan hama tanaman. Namun bagi sahabat yang melihat dengan mata kepekaan, alam sesungguhnya sebuah cermin jujur. Di depan cermin jujur, hanya kejujuran yang membantu. 

Langkanya bunga kamboja memang menimbulkan kesulitan kekurangan sarana persembahyangan, namun lebih dari itu, ada jejaring keindahan di alam yang kehilangan salah satu unsurnya. Akibatnya, ia bisa membawa dampak pada keindahan  secara keseluruhan. Meminjam pendapat fisikawan Fritjof Capra dalam The Hidden Connections, matinya kupu-kupu di Singapura memberi pengaruh pada cuaca di Australia. Bila ini benar, bukan tidak mungkin langkanya bunga Kamboja akan mempengaruhi keindahan alam Bali. Padahal, pariwisata Bali bertumpu  pada keindahan alam.

Merenung di atas bahan-bahan ini, mungkin layak menggunakan langkanya bunga kamboja sebagai alarm peringatan  dini.   Dan  tetua   mengajarkan, kapan saja  alarm spiritual berbunyi, cepatlah mebakti (sembahyang). Serupa dengan mengelola tanaman, di waktu biasa cukup dihadapi dengan pupuk alam dan air hujan. Namun di saat tantangan jauh lebih berat, pupuk dan air hujan saja tidak cukup.

Bakti juga serupa. Pada putaran waktu ketika ketegangan kosmik terjadi di mana-mana - dari hiv/aids, rabies, pemerkosaan gadis kecil - mungkin layak merenungkan kualitas bakti selama ini. Dalam kerangka sederhana, bakti bisa dibagi tiga: luar (outer offering), dalam (inner offering), rahasia (innermost secret offering).

Selama ribuan tahun, Bali memang dipenuhi oleh persembahan luar. Manusia mempersembahkan unsur-unsur alam semesta. Dari janur yang diukir, buah yang ditata rapi sampai dengan mengorbankan binatang. Namun, ada waktu-waktu di mana diperlukan bentuk persembahan yang lebih dalam. Pelayanan, pengorbanan, kasih sayang, penghormatan pada sesama, itulah contoh-contoh persembahan dalam. Tetua Bali menyebutnya Urip nguripi (hidup yang menghidupi).

Di tahap persembahan rahasia, manusia kemudian menggali ke dalam dirinya sedalam-dalamnya. Serupa tulisan novelis cemerlang Paulo Coelho dalam The Alchemist, setelah mencari ke mana-mana dan tidak ketemu, ternyata yang dicari ada di dalam. Begitu ketemu, mulut menjadi terkunci rapat. Tetua Bali menyebutnya Nyepi lan Ngewindu (keheningan yang maha utama).

Kesan umum ketika orang Bali harus sembahyang adalah ngayah. Kerja bakti, gotong royong, menyumbang, membuat persembahan untuk upacara tertentu tentu saja baik. Namun, zaman  sudah   banyak  berubah.  Tantangan sudah jauh lebih berat. Dulu, tidak terdengar ada orang Bali dipenjara. Sekarang, lebih dari separuh penghuni lembaga pemasyarakatan Bali adalah warga Bali. Dulu, Pura sangat suci dan sangat sakral. Sekarang, bahkan benda suci yang amat disakralkan pun (Pratima) dicuri warga Bali. Dulu, tidak terdengar cerita-cerita mengerikan tentang aids, rabies serta gadis kecil diperkosa. Sekarang, itu menu berita sehari-hari.

Sehingga dalam totalitas, tantangan zaman menuntut kualitas bakti yang jauh lebih dalam lagi. Tidak lagi memadai hanya mempersembahkan hal-hal luar. Inilah saatnya manusia untuk mempersembahkan hidupnya. Memperbaiki merajan, melakukan upacara di pura leluhur itu baik. Cuman jangan lupa, anak-anak kita, cucu-cucu kita, sesungguhnya leluhur yang terlahir. Sehingga layak direnungkan mengungkapkan bakti dengan cara menyayangi, menyekolahkan, membimbing mereka menjadi manusia-manusia utama. Untuk itu, mengalokasikan sebagian dana dan tenaga untuk memfasilitasi pertumbuhan mereka, tidak kalah pentingnya dengan merenovasi, bekerja bakti di Pura leluhur. Bermodalkan kasih sayang pada anak cucu, kemudian perluas pancaran kasih sayang ke tetangga, atasan, pemerintah, sahabat yang beragama lain.

Perhatikan tanda-tanda manusia yang bertumbuh dewasa. Ketika remaja, manusia berbahagia dengan cara membeli sesuatu untuk diri sendiri. Begitu tua terbalik, kita justru berbahagia dengan memberi sesuatu untuk orang lain. Inilah contoh konkrit perjalanan bakti yang semakin ke dalam.

Sekaligus menjadi bahan, bagaimana proses upacara sebaiknya dilakukan.  Bila boleh jujur, terlalu sering terlihat di Bali, upacara dilakukan dengan “menyakiti” orang lain. Jalan ditutup kemudian lalu lintas dibuang ke jalan sempit, rusak, jauh sekaligus berbahaya. Tidak terbayang jumlah manusia yang mengeluh, marah dan protes.

Ini mengingatkan pada cerita Shri Krishna menemani Panca Pandawa sembahyang ke Pura. Dalam ukuran Shri Krishna, persembahan hari itu seharusnya bercahaya. Namun nyatanya tidak. Ketika Drupadi ditoleh, ternyata ia tersenyum jahil ke arah pemimpin upacaranya. Bayangkan, hanya tersenyum jahil saja cahaya persembahannya lenyap, tidak kebayang ke mana larinya cahaya persembahan bila upacaranya menyakiti banyak orang.

Sekali lagi, inilah putaran waktu di mana persembahan sebaiknya dilakukan dengan proses yang tidak menyakiti, sekaligus berhenti hanya mempersembahkan hal-hal luar, mulai mempersembahkan hidup untuk pertumbuhan sesama. Tetua Bali  menyebutnya Urip nguripi (hidup yang menghidupi).
Persembahan rahasia

Bermodalkan perjalanan persembahan berupa hidup itu sendiri, kehidupan kemudian secara pelan perlahan bertumbuh menuju wilayah persembahan rahasia. Tidak semua wilayah rahasia ini boleh diceritakan. Di Tantra (salah satu arti Tantra adalah rahasia) ada aturan, sepertiga pertama boleh diceritakan ke publik. Sepertiga kedua boleh diceritakan ke murid-murid yang sujud, bakti, menangis mencium kaki ini. Sepertiga terakhir hanya menjadi rahasia murid dan guru di alam rahasia.

Dibatasi aturan ini, maafkan tulisan ini hanya bercerita sebagian saja dari sepertiga yang pertama. Di jalan rahasia, semua gerak kehidupan (bekerja, berdoa bahkan mimpi) menjadi serangkaian persembahan. Terutama bila semuanya dilakukan untuk memberi manfaat pihak lain. Puncak perjalanan di jalan rahasia, bahkan kematian pun menjadi persembahan. Di waktu kematian, semua hal dipersembahkan. Dari kebaikan-keburukan, uang-utang sampai kesucian-kekotoran. Badan ini sekali pun, di waktu kematian dipersembahkan. Unsur tanah menyatu dengan tanah kemudian ikut menghidupi mahluk dengan menghasilkan padi, sayuran, buah-buahan. Unsur air menyatu dengan air sehingga mahluk bisa minum, unsur api membantu para mahluk memasak, unsur udara membuat semua bisa bernafas. Bagi pemuja Shiva, semua (termasuk kematian) hanyalah tarian Shiva. Untuk murid di jalan Buddha, semua Tathata (sempurna apa adanya).

Di wilayah rahasia, satu-satunya kekayaan spiritual yang tersisa hanyalah keheningan (nyepi lan ngewindu). Akan tetapi,  keheningan yang tidak dipeluk kasih sayang tidak pernah diajarkan sebagai jalan pencerahan. Makanya ada yang mengibaratkan keheningan dan kasih sayang seperti sepasang sayap burung. Keheningan tanpa kasih sayang ibarat orang yang memanjat pohon tetapi tanpa tangan. Kasih sayang yang tidak dilakukan dalam keheningan (penuh ego dan keakuan), serupa tangan yang memanjat tanpa mata.

Siapa saja yang bisa memadukan secara rapi  antara keheningan sempurna (Nyepi lan ngewindu) dengan kasih sayang (Urip nguripi), di waktu kematian akan bernasib seperti anak burung Garuda. Begitu telurnya pecah (karena kehidupan manusia serupa anak ayam yang dikurung cangkang telur ketidaktahuan), langsung terbang ke alam pencerahan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CHAT WITH US HERE !

Ada pertanyaan atau ingin posting artikel di blog ini ?hubungi kami disini dengan

Bayu Wardana



Arya Wibawa

About Me

My Photo
Peradah Indonesia Kota Semarang
Om swastiastu, Kami Perhimpunan Pemuda HIndu Indonesia(DPK Semarang) sekretariat : Pura Agung Giri Natha, Jl. Sumbing no.12 Semarang
View my complete profile

wibiya widget